Merajut Kebanggaan Berbahasa Indonesia di Panggung Global

Santo Ekawalta dan Putri Ade Fatimah

Duta Bahasa Kepulauan Bangka Belitung

Bahasa Indonesia adalah identitas kebangsaan yang tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai cerminan budaya bangsa. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia telah menyatukan beragam suku, agama, dan budaya yang ada di Indonesia menjadi satu kesatuan yang utuh. Namun, di tengah perkembangan zaman yang semakin modern, terdapat kekhawatiran mengenai kurangnya sikap positif dalam berbahasa Indonesia, terutama di kalangan generasi muda. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan, karena bahasa merupakan salah satu aspek yang paling fundamental dalam membangun komunikasi dan kesadaran nasional. Sikap positif dalam berbahasa dapat diartikan sebagai penghargaan terhadap bahasa yang digunakan, terutama dalam menggunakan bahasa Indonesia. Sikap positif tersebut mencakup kesadaran akan pentingnya penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, rasa bangga menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai situasi, serta komitmen untuk melestarikan bahasa ini sebagai warisan budaya. Lantas, bagaimana sikap positif yang ideal dalam memaknai eksistensi bahasa Indonesia, terlebih ketika mengetahui bahwa bahasa Indonesia kian mendunia?

Bahasa Indonesia semakin menunjukkan eksistensinya di kancah internasional, menjadi simbol kebanggaan dan identitas bangsa yang mendunia. Dalam beberapa tahun terakhir, bahasa Indonesia telah digunakan di berbagai forum global, mulai dari konferensi internasional hingga platform digital yang melibatkan partisipasi dari berbagai negara. Peningkatan minat terhadap bahasa ini tidak hanya berasal dari masyarakat Indonesia sendiri, tetapi juga dari komunitas internasional yang tertarik mempelajari bahasa dan budaya Indonesia (BIPA). Di berbagai ajang diplomatik, ekonomi, dan budaya, bahasa Indonesia kerap kali digunakan sebagai bahasa resmi maupun pengantar, memperkuat peran Indonesia di dunia global. Ini menjadi bukti bahwa bahasa Indonesia tidak hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga representasi kekuatan soft power Indonesia yang semakin diakui di panggung dunia. Namun, di balik itu, masih ditemukan bahwa bahasa Indonesia justru tidak dilirik bangga oleh generasi muda, dibandingkan dengan bahasa asing yang terdengar lebih prestisius.

Salah satu faktor utama yang berkontribusi dalam menurunnya sikap positif terhadap  bahasa Indonesia adalah globalisasi. Globalisasi hadir dengan membuka akses yang lebih luas terhadap budaya dan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, yang saat ini merupakan bahasa internasional. Banyak kalangan, terutama generasi muda, lebih memilih menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari, baik secara lisan maupun tulisan, termasuk di media sosial. Percepatan teknologi informasi dalam era globalisasi juga membentuk tata bahasa yang cenderung adaptif dan kreatif sehingga muncul kebiasaan baru dalam berbahasa, contohnya penggunaan kosakata dalam bahasa Inggris digabungkan bersama bahasa Indonesia atau biasa disebut dengan istilah “campur kode”. Menurut Thelander (dalam Suwito, 1983:76), campur kode terjadi ketika dalam sebuah tuturan terdapat kombinasi atau percampuran antara variasi-variasi berbeda dalam satu klausa. Selain itu, disebutkan juga bahwa campur kode dalam bahasa adalah situasi ketika seseorang mencampurkan dua atau lebih bahasa atau ragam dalam satu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa adanya faktor situasi yang mengharuskan percampuran tersebut (Nababan, 1984:32).

Dalam konteks ini, teori Homo Ludens karya Johan Huizinga dapat membantu memahami bagaimana fenomena “campur kode”  terjadi serta bagaimana permainan dan budaya berperan dalam pembentukan sikap berbahasa. Teori Homo Ludens, pertama kali diperkenalkan oleh Johan Huizinga dalam bukunya yang berjudul Homo Ludens pada tahun 1938. Teori ini menekankan pentingnya elemen permainan dalam perkembangan budaya manusia. Menurut Huizinga, manusia adalah makhluk yang bermain (Homo Ludens), dan melalui permainan, mereka mengembangkan aspek-aspek kebudayaan seperti seni, hukum, agama, dan bahasa. Permainan, dalam konteks ini, bukan hanya berarti aktivitas rekreatif, tetapi juga segala bentuk interaksi sosial yang bersifat sukarela dan diatur oleh aturan tertentu.

Dalam kaitannya dengan bahasa, teori Homo Ludens menunjukkan bahwa bahasa juga dapat dianggap sebagai bentuk permainan. Berbahasa adalah aktivitas yang penuh dengan simbol, aturan, dan interaksi sosial. Dalam aktivitasnya, para penuturnya bermain dengan kata-kata untuk berkomunikasi, mengekspresikan diri, dan menciptakan makna. Namun, permainan ini juga bisa menjadi arena identitas budaya dan sikap terhadap bahasa dibentuk dan dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, seperti media, teknologi, dan globalisasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa globalisasi tidak hanya memengaruhi pilihan bahasa, tetapi juga sikap terhadap bahasa. Dalam permainan budaya global ini, bahasa Indonesia seringkali dianggap kurang menarik atau tidak relevan dibandingkan dengan bahasa asing yang dianggap lebih modern dan prestisius. Akibatnya, sikap positif terhadap bahasa Indonesia menurun, terutama di kalangan mereka yang terpapar kuat oleh budaya internasional.

Permainan bahasa di media sosial ini menciptakan norma-norma baru dalam berbahasa, ketika penggunaan bahasa yang baik dan benar tidak lagi menjadi prioritas. Generasi muda lebih tertarik untuk bermain dengan kata-kata yang kreatif dan inovatif, seringkali dengan mengadopsi bahasa-bahasa populer dari budaya asing. Hal tersebut semakin memperkuat sikap bahwa bahasa Indonesia yang formal dan baku adalah sesuatu yang kaku, kuno, dan tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari. Namun, di sisi lain, media sosial juga dapat menjadi alat yang efektif untuk membangun sikap positif terhadap bahasa Indonesia, apabila digunakan dengan tepat. Permainan bahasa yang terjadi di media sosial bisa diarahkan untuk mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia yang kreatif, tetapi tetap sesuai dengan kaidah yang berlaku. 

Dari pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa sebenarnya globalisasi telah berdampak tidak hanya dalam bagaimana manusia bersikap terhadap bahasanya. Namun, globalisasi juga turut membawa bahasa kita, bahasa Indonesia, perlahan masuk ke kancah internasional. Sebagai contoh, Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi UNESCO pada 20 November 2023 di Markas Besar UNESCO di Paris, Prancis. Selain itu, bahasa Indonesia juga telah dipelajari di 54 negara dengan total penutur asing lebih dari 140 ribu. Bahasa Indonesia juga menjadi salah satu bahasa yang dipelajari sebagai mata kuliah di kampus dunia ternama seperti Oxford University dan Yale University. Walau demikian, nyatanya dalam kehidupan kita masih saja ditemukan bahwa generasi muda belum menunjukkan sikap positif kala bahasa Indonesia sudah mendunia.  

Beberapa penelitian menunjukan bahwa generasi muda memiliki sikap positif yang rendah terhadap bahasa Indonesia yang mendunia. Berdasarkan hal tersebut, Duta Bahasa Kepulauan Bangka Belitung menginisiasi sosialisasi guna meningkatkan sikap positif generasi muda terhadap bahasa Indonesia yang mendunia. Kegiatan ini dilaksanakan dengan pemaparan materi penggunaan bahasa Indonesia di panggung global. Selain itu, pemaparan materi juga diiringi dengan penayangan video yang relevan dengan bahasa Indonesia mendunia seperti peresmian bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi UNESCO dan pembelajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (BIPA) di berbagai negara. 

Setelah kegiatan, dilaksanakan survei untuk menilai bagaimana sikap positif generasi muda terhadap bahasa Indonesia mendunia. Hal survei menunjukkan bahwa (1) sebanyak 74,4% sudah memahami program penginternasionalan bahasa Indonesia, (2) sebanyak 67,4% responden memiliki kecintaan yang lebih baik terhadap bahasa Indonesia setelah pemaparan materi berlangsung, (3) sebanyak 55,8% responden bangga dengan bahasa Indonesia, (4) sebanyak 74,4% responden berkomitmen menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, (5) sebanyak 100% responden sudah mengetahui tentang program BIPA (Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing), (6) sebanyak 62,8% responden kurang setuju bahwa bahasa Indonesia di tingkat internasional adalah hal biasa, dan (7) sebanyak 62,8% responden merasa sangat bangga ketika tahu bahwa bahasa Indonesia menjadi bahasa yang dipelajari dan digunakan di berbagai negara dalam forum-forum internasional.

Dari survei yang telah dilakukan, ditemukan bahwa generasi muda mengalami peningkatkan sikap positif berbahasa Indonesia ketika mereka mengetahui bahwa bahasa Indonesia sudah mendunia. Salah satu peluang untuk meningkatkan sikap positif terhadap Bahasa Indonesia adalah dengan memanfaatkan media sosial sebagai ruang permainan bahasa yang lebih kreatif, tetapi tetap menghargai identitas nasional. Kampanye-kampanye digital yang mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar bisa dikemas dalam bentuk yang menarik dan menghibur sehingga generasi muda lebih tertarik untuk terlibat. Selain itu, dengan melakukan kegiatan bahasa seperti, festival literasi guna memperkenalkan bahasa Indonesia bagi generasi muda termasuk internasionalisasi bahasa Indonesia. Dengan demikian, sikap positif berupa rasa bangga inilah yang bisa kita lakukan terlebih dahulu ketika tahu bahwa bahasa kita kian mendunia di berbagai komunitas internasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *